Buah jatuh tak jauh dari pohonnya
Peribahasa ini mengingatkan saya pada kebiasaan dan tingkah laku anak-anak. Terus terang, saya masih jauh dari sempurna. Setiap kali mendapatkan perilaku anak yang tidak diharapkan muncul, maka pertama kali yang saya lakukan adalah introspeksi diri.
Cermin itu, bernama anak
Putri kedua kami begitu mudahnya menangis saat mendapati sesuatu di luar harapannya. Sampai saya tak habis pikir, kenapa ia begitu mellow. Berulang kali, saya mengajaknya berbicara hati ke hati. Bertanya lebih dalam, apa yang membuatnya begitu mudah tersinggung, atau menangis. Terlontarlah segala isi hatinya. Meski saya mengajaknya untuk berubah, mencoba mencari hal positif dari setiap kejadian yang dialaminya, perubahannya belumlah signifikan.
Saya tak menyerah. Pernah saya tanyakan, apakah ia nyaman dengan cara yang dilakukannya. Ternyata tidak juga. Hanya saja, ia tak tahu cara lain yang bisa dilakukan untuk mengatasi perasaan sakit hati atau kesalnya.
Hingga, suatu kala… Saya memandangi foto bayinya. Dan… Terbanglah saya melayang ke beberapa tahun ke belakang. Masa-masa saat mengandungnya. Saat itu, saya banyak menangis. Begitu mudah tersinggung dan merasa sendiri. Dan perasaan itu terus terbawa hingga saya melahirkan dan membesarkannya. Ia sering melihat saya menangis. Dari situlah, ia belajar menyelesaikan masalah dengan menangis. Ooo…. Saya pun beristigfar. Memohon ampun pada Allah.
Kini, saya bisa lebih bersabar bila putri kedua kami menangis atau merengek. Perlahan saya mencoba mengajaknya untuk belajar fokus pada masalah bukan pada perasaannya. Belajar bersama menyalurkan rasa sedih dan kesal dengan cara yang lebih produktif. Kami belajar memisahkan, mana masalah dan mana perasaan yang mengikutinya. Lalu berupaya fokus pada solusi. Sedangkan perasaan sedih atau kesal, kami hargai karena telah memberi warna dalam hati kami. Kami belajar menyalurkannya dengan melakukan aktivitas yang disukai. Misalnya menulis, mewarnai, atau mencorat-coret buku.
Meski belum sepenuhnya terlaksana, tapi kami sudah berada dijalan yang benar.
Introspeksi diri memang perlu keberanian dan ketulusan hati
Tidak semua orang bisa melakukannya dan mudah menerima hasilnya. Saat bercermin mematut diri, kita terkadang ingin mendapatkan diri selayaknya yang indah.
Ketika ada teman atau kerabat yang mengeluhkan tentang perilaku atau kebiasaan anaknya, maka hal pertama yang saya sarankan. Sudahkah bercermin?
Anak menjadikan orangtua sebagai model. Mencontoh perilaku sehari-hari yang ditampilkan orangtua. Mulai dari gerak gerik, cara berjalan, tutur kata bahkan cara berpikir.
Buat saya, memiliki anak merupakan anugerah, tanda cinta Sang Khalik. Bersama anak, saya terus berubah, belajar menjadi lebih baik. Mereka cermin yang tak lekang waktu. Real time adanya. Dan semoga Alloh senantiasa membimbing, membuka mata hati untuk senantiasa menerima kenyataan.