Siang itu, dalam perjalanan pulang dari rumah nenek, kami biasa mengisi waktu dalam kendaraan sambil berbincang-bincang. Kali ini, si Sulung menceritakan kekesalannya terhadap sepupunya yang sering memaksa jika menginginkan sesuatu. Entah itu, mainan, makanan atau apapun. Dan pada akhirnya, karena ia lebih besar usianya, si Sulung yang selalu “harus” mengalah. Harus, karena ia merasa orang-orang sekitarnya memojokkannya untuk mengalah. Padahal ia merasa telah sering kali mengalah. Selain itu, barang yang diperebutkan adalah miliknya, si sulung merasa ia memiliki hak untuk tidak menyerahkan miliknya. Akhirnya terjadi pertengkaran dan tangisan.
Kejadian ini bukan pertama kali terjadi. Bahkan hampir setiap kali bermain bersama sepupu ini, berakhir demikian.
Pada awalnya, saya pun sering meminta Sulung mengalah dengan alasan sepupunya lebih kecil usianya dan belum memiliki barang atau makanan tersebut. Saya pikir, nanti juga saya bisa membelikan lagi untuk Sulung.
Namun, terlalu sering terjadi pertengkaran karena perebutan barang, saya pun merasa kasihan dengan si Sulung dan menyadari hatinya sering terluka. Hingga seringkali ia mengingatkan adik-adiknya tidak mengeluarkan mainan atau makanan mereka karena akan direbut sepupu.
Saya pernah mengungkapkan keberatan saya pada nenek. Mengingat nenek yang seringkali menuntut Sulung untuk mengalah. Saya jelaskan, hak Sulung untuk memberikan atau tidak barang miliknya, dan orang lain tidak boleh memaksanya. Kita hargai keputusannya untuk memberi atau tidak. Namun tampaknya, nenek masih berat. Belakangan, saya memilih untuk mempersingkat kunjungan bila mulai mencium gelagat akan terjadi perselisihan dengan sepupunya.
Perilaku sepupu ini mengingatkan saya pada masa egosentris pada balita. Meski sepupu sudah bukan balita lagi….
Sebenarnya, pada usia berapakah anak belajar memahami mana barang miliknya dan mana barang milik orang lain? Dalam hal ini, sampai usia berapa egosentris ini masih bisa dianggap wajar?
Dalam kamus istilah psikologi (Kartono dalam Chaplin, 2008: 160),
egosentrisme didefinisikan sebagai menyangkut diri sendiri, keasyikan terhadap diri sendiri.
Menurut Piaget, egosentrisme didefinisikan sebagai kecenderungan menilai obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa berdasarkan kepentingan pribadi dan menjadi kurang sensitive terhadap kepentingan-kepentingan
atau hal-hal yang menyangkut orang lain (Kartono & Gulo dalam Chaplin, 2003: 160)
Egosentris adalah fase dimana anak merasa semuanya berpusat pada dirinya, barang-barang miliknya, perhatian hanya untuknya. Berdasarkan berbagai referensi psikologi anak, masa egosentris terjadi pada masa balita. Pada usia lebih dari 5 tahun, anak-anak diharapkan telah memahami bahwa ada bagian orang lain yang perlu dihormati, dan ada hak pribadinya yang harus dijaga.
Bila tahap ini tidak bisa dilewati dengan baik, ada kemungkinan rasa egosentris terus berkembang. Atau sebaliknya, merasa lemah dan tidak percaya diri, karena merasa tidak dihargai. Orangtua perlu mengapresiasi perasaan ini, dan seiring berjalannya usia, menjelaskan selain miliknya pribadi, ada hak orang lain yang wajib dihormati.
Tentu saja, terbentuknya sikap menghargai dan menghormati hak orang lain ini perlu dibentuk oleh lingkungan sekitarnya. Pemberian pemahaman yang terus menerus dengan cara yang tidak menyakiti perasaan balita.
Mmm… Saya melihatnya, sikapnya kini telah cukup keterlaluan. Bagaimana tidak, ia pun berani merebut barang yang sedang dipegang orang dewasa. Sementara orang lain melihatnya lucu dan hebat, saya merasa miris. Perilaku tersebut sama sekali tidak lucu, bahkan tidak patut. Sejak dini sebaiknya diberikan pengertian tentang hak dan kewajiban diri sendiri dan orang lain. Diharapkan bila perkembangan egosentris yang selaras dengan norma lingkungan, maka seseorang dapat memahami dan menjalankan aturan yang berlaku di masyarakat dengan baik.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghadapi egosentris sang balita:
- Orangtua memiliki kesamaan dan kesepakatan dalam menetapkan sebuah aturan. Hal ini dilakukan agar anak tidak bingung bila kedua orangtua memiliki perbedaan pendapat.
- Mulai dari rumah mengenalkan tentang kepemilikan. Jelaskan tentang ini barang ayah, ini milik bunda, ini mainan kakak, ini kepunyaan adik. Belajar tentang menjaga barang pribadi dan menghargai barang milik orang lain.
- Gunakan “kata ajaib”. Seperti “tolong”, “maaf”, “terimakasih “.
- Hargai keinginan anak bila tidak ingin berbagi. Terima keputusannya dan gali perasaannya. Dengan mencari tahu alasan dibalik perilakunya, maka akan lebih mudah untuk mengajaknya melakukan hal yang baik.
- Secara perlahan, ajarkan tentang berbagi. Misalnya melalui cerita, dongeng. Berkunjung dan berbagi ke panti asuhan dan panti yatim.
- Jadilah contoh yang baik bagi anak. Bagaimanapun, anak melihat kedua orangtuanya sebagai teladan. So, mulailah dari diri orangtua sendiri, maka anak akan mengikuti.
- Bila memang anak bermasalah dan perilakunya mengganggu orang lain, sadari dan terima keadaan itu. Lalu buatlah perbaikan sesegera mungkin. Selalu ada jalan untuk berubah menjadi lebih baik.
Tulisan ini menjadi introspeksi diri yang senantiasa mengingatkan saya terhadap anak-anak tercinta. Semoga Allah memudahkan usaha dan cara kita untuk menjadi teladan bagi anak-anak. Semua dilakukan karena sayang terhadap orang yang kita sayang 😘