Hai para ayah bunda, sudah bulan Juli. Bulan masuk sekolah. Sejak awal bulan lalu, saya serius mengikuti status teman-teman di media sosial yang sedang sibuk mengalami hiruk pikuk mencari sekolah baru untuk anaknya tersayang. Mulai dari euforia senang karena sudah lulus satu tahap pendidikan hingga pusing saat akan masuk ke jenjang berikutnya.
Entah rasa deg-degan, khawatir hingga sedih, semua terpampang di media sosial. Kini kita begitu mudah mengenali keadaan seseorang melalui media sosial. Meski kebenaran atau pencitraan, hanya Sang Khalik dan penulis di media sosial tersebut yang mengerti.
Ah, saya tidak ingin membahas tentang itu. Saya ingin mencermati tentang pilihan sekolah. Kini dengan semakin bertebarannya beragam sekolah negeri ataupun swasta, memudahkan ayah bunda untuk memilih sekolah. Namun kecenderungannya memilih sekolah berdasarkan nilai sekolah unggulan atau sekolah dengan berbagai fasilitas yang serba lengkap dan menyajikan kenyamanan bagi anak.
Nah, hal yang sifatnya materil ini membuat kita lupa, bahwa sekolah tidak sekadar infrastruktur dan fasilitasnya.
Ada baiknya ayah bunda pun turut mempertimbangkan kualitas guru. Bukankah guru sebagai pengganti orangtua di sekolah? Maka peran guru pun sangatlah penting. Karena guru merupakan model bagi anak. Selain tingginya ilmu dan luasnya pengetahuan, wajib pula memiliki akhlakul karimah. Sikap utama seorang guru seperti penyayang, namun tegas dan penuh perhatian mampu menjadi teladan anak-anak.
***
Berdasarkan kacamata saya yang masih awam, ada hal lain yang menimbulkan keriuhan saat penerimaan siswa baru kali ini. Sistem penerimaan siswa baru yang diterapkan pemerintah masih memerlukan perbaikan dalam beberapa hal. Dan ini menimbulkan beberapa masalah di lapangan. Misalnya saja, yang baru saja ramai terjadi. Sistem zonasi, penggunaan SKTM ternyata memunculkan masalah baru dalam proses penerimaan siswa baru. Banyak orangtua terutama para bunda di sekitar saya, yang mengeluhkan, kalau nilai UN yang diperoleh anaknya seakan tidak ada artinya akibat kebijakan yang diterapkan saat ini. Anaknya yang memiliki nilai UN tinggi, tidak bisa masuk ke sekolah negeri impian karena kalah perhitungan dengan anak yang tinggal berdekatan dengan sekolah. Rasa putus asa mulai terasa. Hingga di akhir masa penerimaan memutuskan mencari sekolah swasta yang masih menerima siswa baru.
Belum lagi, bermunculan banyak orang tua yang berburu SKTM. Padahal keadaan keluarga jauh dari kategori tidak mampu. Miris sekali. Demi memperoleh kursi sekolah bagi anaknya, harus berpura-pura memerlukan SKTM. Bayangkan, apa yang diajarkan orangtua pada anaknya di awal anak akan sekolah.
Masuk sekolah adalah hal yang baik. Apakah sesuatu yang baik,dilakukan dengan menghalalkan segala cara yang tidak baik akan membawa keberkahan? Pendidikan seperti inikah yang kita ajarkan pada anak?
Saya memperhatikan, banyak orangtua yang bersikap coba-coba atau sekadar mengikuti arus atau tren dalam memasukkan anak ke sekolah. Ayah, bunda, mari sejenak berdiam diri. Perhatikan anak-anak kita.
Kenali kelebihan dan kelemahan yang mereka miliki, baik dalam hal akademi, minat, bakat dan karakter anak. Sebenarnya, pendidikan seperti apakah yang mereka butuhkan?
Sekolah bukanlah tukang jahit. Menerima bahan, ukur, potong sesuai model yang ada. Dan ketika tidak sesuai, ayah bunda mengeluh.
Sudah sesuaikah keunikan dan keistimewaan anak di sekolah baru? Apakah anak dapat menyesuaikannya? Inikah harapan dan tujuan akhir yang ingin dicapai?
Ayah bunda, jangan sampai karena mengikuti atus tren sekolah di sekolah unggulan atau di sekolah tertentu membuat kita menafikan kebutuhan, keunikan dan harapan anak. Bukankah tujuan besar dari semua ini adalah agar anak mau belajar? Lalu bagaimana anak mau belajar menggali potensinya sementara ia setengah hati berada di sekolah?
Mengajarkan anak memahami keunikannya..