woman wearing red hijab
Travel & Camp

Menjadi Minoritas

Assalamu’alaikum…

Pakabar semua? Semoga selalu dalam lindungan Alloh SWT. Aamiin…
Tulisan ini adalah tulisan lama. Namun, saya merasa masih relevan untuk saat ini. Semoga memberi manfaat bagi yang membacanya.
Hiruk pikuk di media sosial tentang mayoritas dan minoritas. Tentang toleransi dan kesetaraan. Keadaan ini menggugah pemikiran saya sebagai seorang ibu yang awam. Saya belajar, Bagaimana berupaya mengajarkan pada anak-anak tentang perbedaan dan menyikapi perbedaan.

Anakku, sunnatulloh kita diciptakan berbeda. Alam ini telah mengajarkan demikian. Lihatlah, bumi inipun tak datar. Ada gunung yang menjulang tinggi, ada lautan yang dalam. Bila tidak, bayangkan kemana air itu harus mengalir. Lautan tak pernah iri pada gunung yang menjulang. Dengan keikhlasan, lautan menerima aliran air dari pegunungan.

Lihatlah, ada pohon jati yang menjulang tinggi dan berdampingan dengan rerumputan yang rendah. Pepohonan tinggi menjadi tempat para burung, dan rerumputan sebagai rumah bagi serangga bersembunyi. Rerumputan tak pernah berpikir untuk menggantikan peran pohon jati. Ia sadar, tanpa pohon jati, tempatnya akan panas, belum lagi banjir dan ia pun mungkin tersapu air.

Anakku, ingatkah perjalanan kita ke negeri-negeri dimana muslim menjadi minoritas. Masih kau ingat, tatapan mata anak-anak kecil yang memandangmu tak henti karena kau berhijab?

Kau ingat, ketika jauh kita berjalan mencari makanan yang halal untuk kita makan?

Atau, mencari-cari tempat yang layak sekedar untuk melaksanakan sholat?
Itu sebagian kecil kesulitan yang kita alami.

Hei, ada hal lain yang tidak boleh kau lupakan, pastinya kau ingat, nak.
Ternyata, ada juga hal yang membesarkan hati kita.

Ingatkah kau anakku, ketika seseorang menawarkan tempat untuk sholat dengan tulus? Disiapkannya kamar yang kecil namun bersih dan bisa menutup aurat kita. Bahkan kita bisa berwudhu di kamar mandinya.

Atau menunjukkan tempat makan halal yang bisa kita makan? Bahkan ada yang memberikan makanan halal secara gratis, meski kita berbeda darinya?

Atau sebuah penghargaan meski sekadar permohonan maaf ketika mereka tak dapat menyajikan yang halal? Kau lihat raut muka tulus penuh penyesalan saat mereka tak dapat membantu kita?

Anakku, ada keluh kesah mu saat itu. Menyesali kenapa kita berada di tempat di mana kita menjadi minoritas dengan segala kesulitannya.
Anakku, demikianlah sunnatulloh. Kita tidak menuntut ataupun memarahi penguasanya karena tidak menyediakan kebutuhan seorang muslim. Minoritas akan tunduk pada mayoritas. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.

Anakku, bersyukurlah… mereka tak pernah memintamu menanggalkan hijabmu. Atau memaksa untuk menyantap makanan mereka yang tak halal.

Mari kita belajar mengambil hikmahnya sayang…

Tetaplah teguh dengan iman dan islam. Karena hanya islam lah yang memahami cara memperlakukan mereka yang minoritas.

Sejarah membuktikan, dalam kekhalifahan islam, orang kafir dilindungi jiwa, raga dan hartanya.
Tetaplah teguh dengan iman dan islam. Karena hanya islam lah yang memahami cara memperlakukan mereka yang minoritas.

Sejarah membuktikan, dalam kekhalifahan islam, orang kafir dilindungi jiwa, raga dan hartanya.
Anakku, mari belajar menjadi muslim yang rahmatan lil alamin. Belajar menyayangi sesama muslim. Belajar melindungi yang lemah, yang minoritas tanpa menggadaikan akidah mu. Karena toleransi terjadi bila kita menerima dan memahami perbedaan tanpa saling memaksakan agama masing-masing.

Anakku, bersyukurlah… kini kau berada di negeri mayoritas muslim. Dimana azan berkumandang, tempat sholat bertebaran dan makanan halal dimana saja. Maka, jangan mudah kau gadaikan akidah mu atas nama toleransi yang salah kaprah.

Hanya ini yang mampu ayah bunda wariskan. Jadilah khalifah di bumi Alloh dan berlakulah adil sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasululloh Muhammad SAW. Wallohu’alam bishowab.

Bekasi, 11 desember 2016
Bunda NMN

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *