Bismillah…
Assalamu’alaikum…
Apakabar mama, bunda, umi? Semoga selalu dalam lindungan Alloh azza wa jalla. Aamiin.
Ya Alloh…saya kangen banget pengen nulis. Sepekan yang lalu, tak ada yang ditulis. Sungguh kesibukan yang menyita waktu, membuat saya penat dan lelah. Hingga ide-ide hanya berkelebat di kepala tanpa eksekusi nyata. Akhirnya, saya terpaku pada satu bagian di sisi lemari dapur. Tempelan kertas koran yang sudah usang, warnanya kekuningan, tapi tulisan yang ada di kertas itu masih sangat sesuai untuk masa kini.
Ini adalah tulisan bapak Rhenald Kasali. Dimuat di harian Sindo. Tapi saya lupa waktunya, tidak ada catatan disitu.
Anyway, tulisan ini berkisah tentang kecenderungan masyarakat yang begitu mudahnya melakukan kredit demi gaya hidup. Betapa sikap hedonism sudah mulai merambah pada kalangan menengah. Mereka yang sebenarnya kurang memiliki kemampuan untuk tampil gaya, tapi memaksakan diri dengan cara kredit. Dan tentu saja, kini bank pun banyak yang memberikan kemudahan bagi nasabahnya untuk kredit. Entah kendaraan bermotor, atau bahkan pembiayaan traveling ke tempat-tempat ternama.
Ternyata, sikap hedonism dan konsumtif ini sebenarnya tidak seindah yang dirasakan. Betapa tagihan yang masuk setiap bulan akan menyesakkan dada. Bekerja seharian demi membayar bunga bank.
Padahal, bila menengok lebih jauh di negara kaya, mereka mulai menyadari bahwa kredit tidaklah menyelesaikan masalah. Bahkan gaya hidup konsumtif mulai dijauhi.
Tengoklah kisah seorang pimpinan perusahaan di Jepang, yang berangkat bekerja menggunakan angkutan umum. Berdesakan dengan yang lainnya. Tak ada malu ataupun segan karena jabatan yang diembannya. Sedangkan di Indonesia, naik jabatan tak afdol bila tak ganti kendaraan.