Catatan Ringan Psikologi

Pasangan Bahagia, Orangtua Bahagia

Bismillah…

Assalamu’alaikum, bunda…

Apakabarnya? Sehat selalu ya. Aamiin. Bun, pernahkah mengalami situasi seperti ini?

  • Tertidur menina bobokan anak, sementara suami menantikan kita.
  • Pulang kerja, memberondong suami dengan beribu keluh kesah hari itu
  • Makan berdua suami, tapi saling diam, bingung dan canggung memulai pembicaraan.
  • Dan bermacam kejadian lain, yang rikuh, kikuk dihadapan suami.
  • Saat bersama suami, yang dibicarakan tentang anak. Ketika membahas topik lain, saling terdiam.

Kenapa hal tersebut diatas terjadi ya? Apa ada yang salah dengan pernikahan ini? Baiklah, kita belajar sama-sama ya, bun.

Hal yang lumrah ketika menikah lalu memiliki anak, maka kita menjadikan anak sebagai pusat dunia kita. Padahal, para ahli berpendapat, kehidupan pernikahan kitapun perlu senantiasa dipupuk, dirawat dan dikembangkan.

Kapan terakhir kali kita dan suami menghabiskan waktu hanya berdua saja? Makan malam yang romantis dan berbincang tentang hubungan kita dan suami? Setelah menikah, kita terlupa akan momen bersama suami. Saat bersama suami, akan selalu terganggu oleh kehadiran anak-anak yang meminta perhatian atau melakukan kesalahan. Padahal, seperti halnya anak, suami atau pasangan kitapun perlu dan ingin diperhatikan.

Suami bekerja hingga malam, sementara sang istri sibuk mengurus berjalannya roda rumah tangga dan menemani anak. Rumah laksana tempat persinggahan. Dan pagi hari semua rutinitas dengan anak mengambil alih kesempatan berbincang bersama. Suami merasa istrilah yang bertanggung jawab akan anak. Dan istri merasa, suami harus bekerja keras menafkahi keluarga. Hingga melupakan mereka pun harus saling memupuk romantisme dan cinta yang pernah berbunga.

David Code dalam bukunya To Raise Happy Kids, Put Your Marriage First, banyak pasangan yang beranggapan pernikahan mereka baik-baik saja selama mereka jarang atau bahkan tidak pernah berargumen atau berselisih. Padahal, lanjutnya, bahaya pernikahan yang sesungguhnya adalah ketika kita memberi jarak pada pasangan atau berdiam diri agar keadaan tenang; suami istri melarikan diri pada kegiatan pengasuhan atau pekerjaan untuk menghindari situasi yang menyebabkan konflik. Dan ketika hubungan suami istri berjarak, maka akan menimbulkan tekanan pada anak untuk memenuhi kebutuhan emosional yang hilang.

Bagaimanapun, ketika kita menyimpan atau menyembunyikan hubungan dengan suami yang memanas, anak dapat merasakan kerenggangan kedekatan hubungan ayah dan ibunya.

Anak yang memiliki orangtua yang hubungannya tidak hangat, lebih mungkin memiliki masalah perilaku atau akademik, dibandingkan dengan anak yang memiliki orangtua yang bahagia. Demikian menurut, Philip Cowan, Phd. profesor di universitas California, Berkeley yang telah melakukan riset keluarga selama puluhan tahun bersama istrinya yang berprofesi sebagai psikolog.

Bayangkan hubungan kita dengan suami sebagai lingkungan emosional dimana anak-anak dibesarkan.

Kita mengharapkan mereka menghirup udara yang bersih dan segar, demikianlah harapan kita agar anak-anak juga memiliki lingkungan dengan atmosfir penuh kasih sayang.

Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan agar pernikahan juga menjadi prioritas suami istri.

Meng-update Keadaan Tiap Hari

Bunda, kita selalu memiliki waktu untuk mendengarkan keluh kesah teman. Tapi ketika suami pulang dalam keadaan lelah, dan kesal, kita langsung menyorongkan bayi untuk diasuh suami. Atau langsung melontarkan segala kepenatan dan keluh kesah hari itu.

Misi “pengasuhan bersama” seringkali dijadikan alasan untuk mengabaikan kebutuhan pasangan. Waktu senggang untuk berbicara tentang berbagai hal, menjadi hal yang sulit dilakukan.

Untuk tetap memiliki kedekatan dengan pasangan, ada baiknya kita berbagi hal-hal berkesan di hari itu.

Seperti, bercerita tentang keberhasilan anak merapikan mainan sendiri, atau kesediaan anak mengucapkan salam saat masuk rumah.

Membicarakan hari yang kacau pada suami sementara waktu yang dimiliki sangat terbatas, bukanlah ide yang baik untuk menjalin kedekatan. Tim yang baik adalah yang mampu berempati dengan apa yang dirasakan dan yang telah dilalui pasangan selama seharian.

Siapkan Energi

Seberapapun baiknya hubungan pernikahan sebelum kita memiliki anak, sekarang kita tidak bisa menjalankannya dengan auto pilot. Setelah memiliki anak, wajar bila banyak hal yang harus segera diatasi berkaitan dengan anak. Namun kita melupakan hubungan dengan pasangan. Bagaimanapun kita harus menginvestasikan waktu dan energi untuk kehidupan pernikahan agar dapat melalui masa-masa sulit bersama.

Kurangi ‘sedikit’ perhatian pada anak

Bukan berarti tidak peduli pada anak. Hanya saja, terkadang kita pun perlu belajar memberikan ‘sedikit’ kebebasan dan kepercayaan pada anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Agar suatu saat ia dapat mandiri. Sementara itu, kedua orangtuanya dapat menghabiskan ‘sedikit’waktu bersama.

Misalnya, setelah makan malam, anak diperkenankan bermain sendiri selama 30 menit. Tanpa interupsi atau bantuan orangtua. Selama waktu tersebut, kita dapat memanfaatkannya untuk saling mencurahkan perasaan masing-masing. Ajarkan anak untuk bersabar dan berusaha keras mengatasi masalahnya. Dengan demikian, hubungan dengan pasangan terjaga dan anakpun belajar banyak. Bila perlu berikan hadiah bila ia berhasil.

Mengagendakan waktu hanya untuk berdua

Sesekali kita dan pasangan perlu menghabiskan waktu berdua di luar rumah. Bila anak mampu ditinggal, maka tugas kita mencari seseorang yang dapat dipercaya dan menyenangkan anak sementara kita dan pasangan pergi.

Anak-anak terkadang membutuhkan waktu sesaat untuk menjauh dari kita, kita pun demikian. Jika tidak, kemungkinan saat anak-anak beranjak dewasa, kita dan suami saling bertanya “kamu siapa? ” karena tidak saling mendekatkan dari mula.

Kencan sederhana

Lakukan kencan sederhana. Entah diluar atau di dalam rumah. Misalnya setelah anak-anak tidur, menyiapkan makan bersama ditemani lampu temaram. Atau sekedar pergi makan mie ayam di kedai dekat rumah. Kegiatan bersama yang tidak menghabiskan banyak uang dan banyak waktu.

Lakukan hal kecil yang bernilai besar

Perbedaan besar antara orang tua yang berhasil dan tidak berhasil melakukan pengasuhan dilihat dari kemampuannya mengekspresikan 3A (Afection, Appeciation, Admiration).

Misalnya, saat suami pulang kerja, dari pada mengajukan berbagai pertanyaan kenapa ia pulang telat, lebih baik katakan,

“Pasti kamu telah melalui hari yang panjang dan melelahkan”

Kalimat sederhana yang dapat menurunkan ketegangannya seharian. Atau sebuah pelukan selamat datang yang hangat, dapat menenangkan kita dan suami setelah melalui hari yang berat. Hal kecil dan mudah tapi memberikan pengaruh besar.

Nah, demikian sedikit yang saya ceritakan, bun. Bagaimana menurut, bunda? Silahkan masukannya ya.

Semoga kita dapat menjadi pasangan yang menyenangkan di dunia dan di akhirat kelak, aamiin. 💖💖

Sumber: saduran bebas dari Happy Parent, Happy Kids

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *