Catatan Ringan Ibu Profesional Psikologi

5 Hal Yang Dilakukan Hanya Setelah Berkeluarga

Bismillah…

Hai, hai, bunda…. Apakabar? Semoga selalu sehat wal’afiat. Aamiin

Tulisan kali ini edisi curhat pribadi. Maafkan ya, bun. Kadang saya pun perlu katarsis 🙈

Kehidupan pernikahan, menjadi istri dan ibu tentu saja berbeda dengan apa yang dialami sebagai anak perempuan. Pastinya banyak perubahan dan hal yang tidak pernaha dilakukan sebelumnya. Memasuki gerbang pernikahan adalah menjadi individu dengan pengalaman yang baru. Betul ga, bun?

Nah, diantaranya ada beberapa hal yang dilakukan hanya setelah saya menikah. Bisa saja pengalamannya sama atau ada yang berbeda dengan bunda yang lain. Mari kita lihat bersama.


Pertama, Bangun Paling Awal

Sebelum menikah, saya selalu dibangunkan mama kala pagi menjelang. Lalu mandi, sholat dan beragam aktivitas pagi lainnya. Saat libur sekolah atau libur kerja, bisa bangun lebih siang lagi. Betapa santainya hidup saya.

Setelah menikah, bahkan pada hari pertama menjadi istri, saya bangun paling awal. Entah mengapa, alarm tubuh langsung berbunyi pada jam tertentu. Dan ketika memiliki anak yang bersekolah, bangun paling awal menjadi keharusan. Bahkan kala kondisi tubuh tidak memungkinkan sekalipun. Secara otomatis, saya akan terbangun pada jam tertentu.

Mungkin demikianlah Alloh Ta’ala menjadikan fitrah seorang ibu dan istri menjaga dan merawat keluarga semenjak dini hari.

Tak perlu disesali ya, bun. Sungguh bangun awal dini hari, memberikan banyak manfaat bagi tubuh. Dini hari memiliki atmosfer udara terbaik. Penelitian menunjukkan Oksigen termurni berada pada wakru dini hari. Dengan kita bangun awal, menyerap oksigen murni yang baik untuk perkembangan otak. Alhamdulillah, ada hikmah baiknya kan.


Kedua, Cerewet

Sejauh ingatan saya tentang masa muda, saya termasuk seorang perempuan yang jarang berkata. Saya cenderung pendiam. Bahkan kala ada hal yang meresahkanpun, saya lebih memilih menuliskannya daripada ribut membicarakannya.

Hal ini sangat berbeda ketika saya telah menikah dan memiliki anak. Saya merasakan mudah sekali melontarkan kata-kata baik terhadap suami apalagi anak-anak. Apa saja mudah dikatakan. Dari urusan domestik, hingga urusan politik. Begitu mudah meluncur dari mulut saya. Saya menyadari, kadang hal ini tidak baik. Namun, ketika coba menahannya malah sakit kepala. Ah, saya memang butuh media untuk menyalurkan emosi.

Setelah introspeksi diri, saya menyadari kalau saya bisa menulis kembali. Bukankah saya lebih bahagia saat bisa menulis? Dan hingga kini, saya menulis sebagai terapi, media terapi bagi hati yang galau.


Ketiga, Mengendarai Roda Dua

Papa saya tidak mengijinkan saya belajar mengendarai roda dua. Menurutnya, berbahaya. Walhasil, saya kemana-mana minta diantar jemput atau naik kendaraan umum. Saat itu, saya nikmati saja.

Dan setelah menikah, mau tak mau saya harus belajar mengendarai roda dua untuk memudahkan mobilitas kami. Awalnya, suami pun tak mengijinkan. Namun, setelah saya ajak bicara pentingnya saya belajar mengendarai roda dua. Akhirnya, ijin suami pun terbit.

Memang ya, kadang kita bisa karena terpaksa. Begitu, deh. Hingga kini, saya harus menjaga baik-baik amanah suami. Boleh mengendarai roda dua selama safety driving. Tapi ya, bun, ada satu rahasia. Saya hanya mengendarai roda dua di dalam kompleks perumahan saja. Di luar itu, kadang masih gemeran. Hiks. Jangan bully, ya, pliiss.


Keempat, Dekat dengan Anak-anak

Waktu saya kuliah di Bandung, saya pernah ikut organisasi PAS (Pembinaan Anak Salman). Sebagai mentor, saya tentunya banyak terlibat dan berhubungan dengan anak-anak. Tapi, saya tidak terlalu menyukai berada di organisasi ini. Saya agak sulit menyesuaikan diri dengan anak-anak. Ada rasa takut dan khawatir melukai mereka. Akhirnya, saya pun tidak aktif dan keluar dari organisasi ini.

Setelah menikah dan memiliki anak, entah mengapa dan darimana awalnya, saya begitu menyukai dan mencintai dunia anak-anak. Mereka tampak menggemaskan bagi saya. Saya pun senang menghabiskan waktu bersama mereka, melakukan berbagai hal untuk menyenangkan anak-anak.

Alhamdulillah, fitrah saya sebagai seorang ibu berkembang ketika memiliki anak sendiri. Semoga senantiasa dapat merawatnya. Aamiin.


Kelima, Belajar Memasak

Bunda, memasak adalah momok bagi saya. Saya tidak bisa memasak dan tidak suka memasak. Kombinasi yang bagus ya 🙈

Buat saya, memasak adalah hal yang rumit dan tidak dapat diprediksi. Saya tak mau pusing proses yang terjadi sebelum masakan terhidang. Jangan dicontoh ya. Saya sudah insyaf, loh.

Kini, saya belajar memasak. Masih proses untuk menjadi ahli masak memasak. Beberapa kali membuat hidangan yang tidak disukai keluarga. Tapi saya tak surut. Akan berusaha terus. Hahaha…

Saya tidak terlalu sering memasak. Kenapa? Karena seringkali masakan buatan saya tidak dimakan suami dan anak-anak 😭

Mungkin buatan saya tidak enak ya. Biasanya demikian. Sedih juga tapi saya maklum, lah.


Nah, kalau kamu, iya, kamu… Kamu, bun? Apa yang berubah setelah menikah dan punya anak?

Saya tunggu ceritanya, ya. Salam hangat untuk orang-orang tersayang 💖💖💖

Anda mungkin juga suka...

0 Komentar

  1. You replied to this comment.

    1. Hihihihi… Iyess banget ya, mba 🙈

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *