“Rezaaa”, suara melengking keras membuyarkan lamunan.
“Aduh, Kiki. Ada apa? Ngagetin aja! “, Jawab Reza setengah membentak pada sahabatnya itu.
Kiki berhasil membuat ia terkejut.
“Lah, Lo ngapain aja? Bengong ga jelas gitu”, jawab Kiki.
Reza tak menjawab. Ia sibuk melipat-lipat sarungnya. Lalu pergi begitu saja meninggalkan Kiki yang masih menanti jawabannya.
Reza, anak laki-laki usia 11 tahun itu masih kesal dengan Kiki, sahabatnya. Akibat Kiki becanda dengan Alul saat sholat magrib berjamaah tadi, Reza ikut terkena amarah pak Imran. Walaupun ia sholat di samping Kiki, tapi ia tidak becanda. Sholat khusuk mengikuti imam. Tapi pak Imran tak tahu itu. Pak Imran marbot masjid terkenal galak, takkan segan memarahi anak-anak yang ribut dalam masjid.
Pak Imran memanggil mereka bertiga saat bubar sholat. Sambil menunjuk-nunjuk muka satu persatu, ia memberikan peringatan keras agar mereka sholat dengan tertib. Anak-anak lain mengerumuni mereka, mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Belum sempat Reza memberikan penjelasan, pak Imran menghardiknya agar segera pergi dari masjid An Nuur. Bukannya beranjak pulang, ia justru berdiam diri di sudut masjid. Hatinya masih kesal karena merasa disalahkan untuk sesuatu yang tak dilakukannya. Belum lagi malu karena dimarahi di depan orang banyak.
Akhirnya, ia meninggalkan masjid kala sudah sepi. Tak ada lagi jamaah sholat magrib di masjid. Mereka sudah pulang ke rumah masing-masing. Tinggal Reza dan Kiki.
Langkah Reza gontai. Ia tak memperhatikan kalau Kiki telah pergi meninggakannya sendiri, masuk ke halaman rumahnya. Rumah Kiki dekat, bersebrangan dengan masjid.
Reza masih harus menyusuri deretan rumpun bambu dan lapangan luas untuk mencapai rumahnya. Sepanjang jalan ia biasa bersenandung kecil. Ia sering menemukan anak kucing yang tersangkut diantara rumpun bambu. Dan menolongnya, memindahkan anak kucing ke tempat yang aman.
Kali ini, jalanan tampak sepi. Tak ada sesiapa yang melintas. Lampu jalan yang hanya satu itu bersinar redup. Seredup hatinya yang masih kesal karena kejadian tadi.
Tidak sampai disitu. Ia tak menyangka, malam ini penuh dengan kejutan. Belumlah reda kekesalan atas kejadian di masjid, kini ia dikagetkan dengan suara deru knalpot motor yang datang tiba-tiba saja dari arah belakangnya. Sontak ia berhenti membalikkan badan, mencari tahu siapa pengendara motor tersebut. Ia tak mengenalinya. Lampu jalanan tak dapat membantunya mengenali pengendara motor tersebut.
“Dek, mau kemana? “, tanya sang pengendara berjalan pelan bersisian dengannya.
“Mau pulang, Om”, jawabnya lantang sambil menyelidik laki-laki dibalik helm, kacamata hitam dan masker wajah itu.
“Om antar, yuk!”, ajak laki-laki itu mengarahkan motornya ke arah Reza.
Eits, Reza sigap menghindar. Penuh tanda tanya, siapa lelaki ini. Ia tak dapat melihat nomor polisi pada motor yang tidak menyala lampunya itu.
“Gausa, Om. Rumah saya dekat”, jawab Reza siaga, ia mengambil ancang-ancang. Firasatnya berkata ia harus berlari.
“Eh, gelap lo. Kamu pasti takut. Ayo, Om antar!”, nadanya mulai meninggi.
“Ga papa, Om”, suara Reza tampak gemetar. Ia berjalan cepat.
Reza merasakan ada paksaan pada ajakan itu. Ia tak mengenal laki-laki ini.
Untuk menuju rumahnya, ia masih harus melewati 4 rumah dan 1 lapangan bulu tangkis. Reza tahu kemampuannya berlari. Ia bermain futsal setiap hari di sekolah. Maka, ia mengukur panjang nafasnya agar sampai ke rumah dengan selamat.
“Ayo, ikut sini!”, motornya semakin mendekat.
Aku harus lari, bisik Reza dalam hati. Terbayang wajah bunda yang cemas menantinya. Reza pun langsung berlari kencang. Sekuat tenaganya. Hanya ingin mencapai rumahnya yang sudah didepan mata.
Terus berlari. Suara motor itu terdengar mengejarnya. Reza meningkatkan kecepatannya. Ia harus sampai di rumah. Cepat. Tak dihiraukan panggilan laki-laki itu. Oh, suara motornya semakin dekat.
Aku harus pulang ke rumah. Bunda, aku kangen, bisiknya lirih. Reza berlari sementara deru motornya kian mendekat. Ia merasa kehabisan nafas. Tak sanggup lagi.