Catatan Ringan Ibu Profesional

Maafkan Aku, Ra

Rara bergegas merapikan rambutnya. Dipandangi sekali lagi wajahnya di cermin panjang. Yups, sempurna. Ia tinggal menambahkan sedikit aksen untuk penampilannya.

Rara melirik jam dinding di kamar. Ups, waktunya berangkat. Ia langsung beranjak keluar kamar, membawa laptop di tangan kanan, map di tangan lainnya. Lalu disampirkannya tas punggung ke pundaknya.

Di meja makan, Yoga sedang menikmati sarapan. Ia tersenyum melihat istrinya yang cantik. Rara membalasnya, tersenyum tipis.

“Mas, aku kesiangan. Kutunggu di parkiran, ya”, Pinta Rara sambil mengambil kotak makannya.

“Loh, kamu ga sarapan?”.

“Ini, sudah kubawa. Aku sarapan di kantor saja”, jawab Rara.

Yoga hanya mengangguk, matanya asik melihat gawai.

“Mas, minta tolong, ya. Bawakan syal merahku di kamar. Tanganku sudah penuh, ni”, Pinta Rara sambil membuka pintu apartemen.

“Mas…”, Rara meminta perhatian.

“Iya sayang, syal merah di kamar”, jawab Yoga sambil menyeruput kopinya dan menghabiskan suapan terakhirnya.

Yoga ke kamar, mengambil syal merah di lemari. Dimasukkan dalam ranselnya. Lalu bergegas keluar apartemen menyusul Rara.

Keluar lift, Rara sudah menanti.

“Sini aku bantu”, Yoga mengambil laptop dan map dari tangan Rara.

Mereka menuju parkiran. Menaiki mobil dan meluncur meninggalkan apartemen menuju keramaian jalan ibu kota.

“Mas, syalnya ga lupa, kan?”, tanya Rara.

“Ga dong, tuh ada di ranselku. Ambil aja”, jawab Yoga ringan.

Rara langsung membuka ransel Yoga. Daan… Ia mencoba menahan diri.

“Mas, tadi ambil syal warna apa?”, Rara mencoba menahan amarahnya.

“Merah, sesuai pesananmu, sayang”, Ia tersenyum.

“Tapi ini syal hijau, mas…”, Rara gemas.

“Oh, masa siy?”.

Rara diam. Ia sangat kesal.

Yoga melihat istrinya merengut.

“Sayang, maaf, ya… Tapi kamu tau? Pakai syal apapun, kamu selalu menawan, cintaku”, bujuk Yoga.

Rara tak menanggapi, ia terlalu kesal. Ini bukan pertama kalinya Yoga tak memperhatikan permintaannya.

Rara memandang keluar jendela mobil. Ia mencoba mengalihkan kekecewaannya. Tapi tak bisa. Pikirannya malah melayang-layang pada beberapa kejadian yang tidak mengenakkan bersama Yoga.

Rara menikah dengan Yoga sekitar 2 bulan yang lalu. Sejak mereka pindah, tinggal di apartemen sendiri, saat itulah ia merasa Yoga tak peduli dengan keadaan rumah tangga. Yoga selalu menganggap enteng kesalahan-kesalahannya. Sementara Rara penuh pengharapan akan suaminya.

Rara ingat kejadian di Supermarket furnitur dan aksesori rumah.

“Mas, karpet buat di ruang tamu yang mana ya?”, tanya Rara.

“Mana aja, Ra”, jawab Yoga singkat.

“Coklat atau hijau lumut ini?”, Rara meminta pertimbangan.

“Terserah kamu aja, Ra. Semuanya bagus”, Yoga tersenyum.

Lalu, saat memilih wallpaper, di tempat gordyn, dan masih banyak lagi, jawaban Yoga sama, Terserah.

Padahal Rara ingin mereka bersama-sama mengisi apartemen baru dengan barang-barang yang disukai bersama. Ia merasa Yoga tak berniat hidup mandiri, tidak menumpang lagi di rumah mamanya. Apa Yoga tak ingin pindah? Mungkin ia masih ingin bersama mama papanya? Ah, tapi tak mungkin. Apartemen itu milik Yoga, ia yang pertama mengajak Rara pindah.

Bayangan Rara, ia akan menikmati kebersamaan saat mereka mengisi dan menghias setiap sudut rumah. Tapi sikap cuek Yoga, membuat Rara kesal. Hingga akhirnya, ia memilih pergi sendiri saat perlu membeli barang.

“Ra, sudah sampai sayang”, sentuhan tangan Yoga yang hangat membuyarkan lamunannya.

Tak terasa ia sudah sampai di lobby gedung kantor.

“Oh, iya”, Rara kaget.

“Ra, apapun yang kamu pakai, kamu selalu cantik”, tatap Yoga pada istrinya sesaat sebelum Rara turun dari mobil.

Rara hanya tersenyum tipis.

Aku membutuhkan pembuktianmu, Mas. Hatinya nelangsa.

Yoga pun melanjutkan perjalanan menuju kantornya.

Rara bekerja di sebuah kantor advertising. Sebagai kreatif editor, ia menikmati pekerjaannya meskipun tuntutan pekerjaan yang tinggi. Ia tidak hanya harus membuat iklan yang kreatif dan menarik, tapi juga menstimuli orang untuk membeli atau menggunakan produk iklan tersebut.

“Pagi, Rara!”, sapa Tania di ruang kerjanya.

“Pagi, Tania… “, jawab Rara tak bersemangat.

Tania teman sejawat dan teman berbagi cerita Rara. Ia heran dengan sikap Rara.

“Hei, ada apa? Ga biasanya lemes begini”, selidik Tania.

Rara menghempaskan tubuhnya di sofa. Matanya berkaca-kaca.

“Tania, aku ga tau… Rasanya aku tak mengenal Yoga yang sekarang. Ia tak peduli dengan aku… “, meluncurlah cerita Rara tentang harapan yang tak seindah kenyataan.

“Ra, sabar ya. Namanya juga pengantin baru, masih saling menyesuaikan diri”, hibur Tania.

“Mungkin kalian perlu liburan, ngobrol santai, Ra”, lanjut Tania.

“Mungkin… ” jawab Rara lemah.

***

Beberapa hari kemudian.

“Mas, belum berangkat, kan? “, tanya Rara di ujung telpon.

“Belum, bentar lagi, niy. Kamu sudah di kantor? “, Yoga balik bertanya.

“Sudah, mas”.

“Syukurlah. Good luck ya, sayang”, ucap Yoga bersemangat.

“Iya, mas”.

“Mas, aku mau minta tolong. Map biruku tertinggal di meja. Tolong antarkan, ya? Aku tak sempat pulang lagi. Mereka menuju kesini”, pinta Rara dengan seksama.

“Baik, Raraku sayang”, jawab Yoga.

“Mas, aku sangat membutuhkan bantuanmu kali ini. Mohon dengan sangat”, Rara mengiba, ia berharap kali ini Yoga tak mengecewakannya.

“Iya, sayang. Secepatnya aku sampai disana. Aku naik motor ya”, Yoga meyakinkan Rara.

“Ok. Aku tunggu di lobby, ya”, ucap Rara.

“Ok”, singkat Yoga.

Rara menanti Yoga dengan cemas. Hari ini, ia akan menemui klien besar. Ia sengaja berangkat lebih pagi untuk menyiapkan semuanya. Tapi ternyata, dokumen paling penting tertinggal di rumah. Ia menyesali kecerobohannya. Beruntung Yoga akan mengantarkannya. Ia sangat berharap kali ini, Yoga dapat diandalkannya.

Ah, itu dia. Rara bersyukur Yoga datang tepat waktu. Yoga berjalan cepat ke arah Rara. Ia tersenyum lebar.

“Ra, belum terlambat, kan? Ini, Ra”, Yoga menyodorkan map biru Rara.

Alangkah terkejutnya Rara. Ini bukan map yang dimaksud.

“Mas, ini apa? “, tanya Rara kesal.

“Map biru kamu, kan? “, jawab Yoga ragu.

“Mas, kenapa aku tak bisa mengandalkanmu? Kamu tega, mas”, Rara berlari menuju lift. Ia tak dapat membendung air matanya.

Yoga mengejar, tapi terlambat. Pintu lift telah tertutup.

Sepanjang hari Rara tak mengangkat telpon Yoga. Kali ini, ia belum dapat memaafkan Yoga. Beberapa pesan whatsapp Yoga pun diabaikan. Ia sudah tahu, paling permohonan maaf. Percuma.

Sore itu, saat merapikan meja kerjanya, telpon berdering. Yoga lagi. Rara tahu, ia harus menyelesaikan semua ini sekarang. Diangkat telponnya.

“Ra, aku minta maaf”, suara Yoga begitu pilu.

“Mas, kita harus bicara. Pulang kerja, di restoran biasa”, Rara langsung menutup telpon sebelum Yoga berkata apapun.

Di sudut restoran, Rara duduk menanti Yoga. Ia hanya memesan Mocha Latte, berharap bisa menghangatkan hatinya yang dingin. Tak berapa lama, Yoga memasuki pintu restoran. Rara bisa menangkap kegelisahan di wajahnya. Yoga yang selalu tersenyum untuk Rara, kali ini ia tampak begitu tak tenang.

Setelah memesan minuman, Yoga membuka pembicaraan.

“Gimana tadi, Ra?”, pertanyaan yang sia-sia.

Rara membuang muka, mengalihkan pandangan keluar jendela. Ia tak tahu harus mulai darimana. Ia biarkan Yoga memulai percakapan.

“Ra, kamu tahu? Apapun yang terjadi, aku menyayangimu”, Yoga menarik tangan Rara.

Rara bisa merasakan kehangatan mengalir dari tangan Yoga. Ia masih terdiam.

Yoga menarik nafas dalam, seakan bersiap menerima segala kemungkinan buruk.

“Ra, aku buta warna”.

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *