Catatan Ringan Psikologi

Lika Liku Seorang Ibu

Kali ini saya mau curhat. Curhat dari lubuk hati terdalam. Tentang gelisah, lelah dan serba salah menjadi seorang ibu. Mungkin apa yang saya alami dialami juga ibu yang lain, mungkin juga tidak. Tulisan saya ini, upaya berbagi dengan sesama.

Sebagai ibu dengan 4 orang anak, umumnya orang awam memandang takjub, atau sebaliknya, miris. Saya pernah mengalami keduanya. Tapi berusaha biasa saja, karena banyak keluarga yang anggotanya lebih besar dari kami, seperti halnya banyak juga yang anggotanya lebih minim. Semuanya memiliki tantangan sendiri. Iya ga? Jadi tak layaklah kita membandingkannya. Apalagi dengan keyakinan bahwa banyaknya anak juga merupakan ketetapan Alloh Ta’ala yang patut kita imani.

Sejauh ini, saya merasakan dengan 4 orang anak memiliki aneka rasa yang nano nano berpelangi. Hahaha… Kayak apa tuh ya. Kaya rasa deh, pokoknya. Masyaa Alloh, betapa Alloh Ta’ala Maha Agung. Dari keempat anak saya, mereka berbeda, unik dan khas meski berasal dari benih yang sama.

Pendekatan pada setiap anak berbeda cara dan perlakuannya. Kadang saya tak habis pikir, dengan perlakuan yang sama, mereka memberikan respon yang berbeda. Maka saya semakin Takjub dengan kuasa Ilahi.

Ada beberapa teman saya yang melihat kehidupan kami sepertinya lurus dan aman damai saja. Alloh Maha Sayang, masih menutupi aib kami. Saya pikir setiap keluarga memiliki tantangannya masing-masing. Dan berupaya menaklukkan tantangan dengan caranya sendiri.

Secara pribadi, sejak awal pernikahan saya mengazamkan dalam diri untuk tidak menceritakan masalah keluarga kami pada orang lain, termasuk orangtua sendiri. Biarlah kami sibuk di dalam mengatasi setiap masalah, mengencangkan ikatan pinggang dan meneriakkan masalah hanya pada sang Pemilik Solusi, Alloh azza wa jalla.

Pernah pada satu waktu, anak pertama kami membuat kesalahan. Usianya 11 tahun, dan saya sudah merasa tak patut memarahinya layaknya anak kecil. Biasanya saya suruh dia merenungkan kesalahannya. Namun pada waktu itu, saya kesal, hingga memutuskan tidak mengijinkannya masuk ke dalam. Setelah bicara dengan ayahnya, ayahnya setuju, dan dia diminta di luar pintu hingga ayah pulang. Saya merasa, figur ayahlah yang mampu melunakkannya.

Posisinya anak saya di dalam pagar, tapi di luar pintu masuk ya. Jadi masih di dalam rumah, hanya tidak bisa masuk ke bagian dalam. Ternyata sulung kami berteriak-teriak, menangis, memanggil saya dan meminta masuk ke dalam. Selama keadaan di luar masih aman, saya masih belum membukakan pintu. Hingga datang seorang ibu yang menjajakan makanan, tetangga kami juga. Ia langsung masuk pagar dan berteriak-teriak memanggil saya. Saya yang sedang sholat tidak menjawabnya. Tak sampai disitu, ia bahkan menelpon saya, tapi tak terangkat. Selesai sholat, saya dengar ia bercakap dengan anak saya di depan pintu. Membujuknya untuk ikut bersamanya. Saya masih tak bergeming. Sungguh, saya berusaha menahan diri karena kesal dengan ibu tersebut. Ia masuk ke area rumah kami tanpa ijin. Dan berteriak-teriak memanggil saya, sambil mengeluarkan berbagai nasehat. Ya Alloh, saya khawatir akan muncul amarah saya padanya. Kenapa ia mencampuri urusan kami tanpa diundang? Lalu menilai kami sebagai orangtua semata dari satu kejadian itu? Apalagi dia lakukan di depan anak-anak saya?

Sabar, sabar, sabar… Istigfar tak putus.

Akhirnya, ia pergi juga. Dan anak saya? Masih di depan pintu. Saya pun belum membukakannya hingga tak lama kemudian, ayahnya pulang. Ia masuk ke dalam rumah ditemani ayahnya. Saya lega, kini ada ayahnya yang membantu saya. Seperti biasa, ayahnya akan tabayun informasi saya dan anak saya. Dan kamipun berpelukan.

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *