woman covering her face with pink hijab
Psikologi

Anak Perempuan Pertama: Bagaimana Peran Mereka Dalam Keluarga?

Beberapa hari yang lalu, kondisi kesehatan saya menurun drastis. Saya benar-benar tak bisa memaksakan diri untuk tetap beraktivitas seperti biasa. Saat itu, saya pikir, ini hanya flu biasa. Tapi entah mengapa, saya merasa lemah sekali, sendi tubuh seperti tak berdaya dan kepala terasa berat sepanjang hari. Pada hari kedua, pak suami mengambil cuti. Ia tak tega melihat istri dan anak-anaknya. Saya memintanya fokus memperhatikan anak-anak, karena saya merasa masih bisa memenuhi kebutuhan pribadi sendiri, meski penuh perjuangan.

Saat seorang ibu sakit, sebuah keluarga diuji kemampuannya mengatasi problematika sehari-hari dalam rumah. Seperti, siapa yang akan menyediakan makanan, menemani bermain balita dan anak kecil (saya masih memiliki balita dan anak usia 7 tahun), lalu mengingatkan tentang membersihkan badan, membersihkan peralatan makan, menjaga rumah tetap bersih dan nyaman, dan banyak hal lainnya. Semuanya tampak sepele dan mudah dilakukan ibu. Tapi begitu sulit saat Ibu sakit.

Bagi saya pribadi, sebagai Ibu saya belajar untuk menjadi penonton. Belajar mengikhlaskan ketika ada hal yang tidak sesuai seperti yang biasanya saya lakukan. Dan belajar memberikan dukungan pada anggota keluarga untuk tetap semangat melalui hari, meski ini saya juga ragu bisa melakukannya. Tentu saja, situasi ini merupakan ruang ujian bagi setiap anggota keluarga. Bagi anak-anak dan pak suami, juga bagi Ibu sendiri. Bagi Ibu, apakah ia telah berhasil menjadi fasilitator bagi anak-anak dan pas suami. Hehehe.

person covered with yellow blanket
Photo by Janko Ferlic on Pexels.com

Seseorang yang menjadi highlight selama kejadian tersebut adalah anak gadis tertua. Anak gadis tertua saya adalah anak kedua. Meski anak kedua, perannya tak kalah dengan anak pertama. Saya sangat terharu dengan apa yang telah dilakukannya. Secara sadar, ia menyiapkan makanan untuk adik-adiknya, bahkan menyuapi mereka di sela-sela ‘me time’ nya. Ia menyiapkan kebutuhan adik-adik kecilnya selayaknya yang biasa saya lakukan. Hal ini jauh dari persangkaan saya. Saya pikir, selama ini ia tak memperhatikan saya dengan seksama karena tampak sibuk dengan dunianya sendiri. Ternyata tidak, ia begitu peduli pada adiknya dan mengayomi mereka. Padahal beberapa kali saya pernah menemukannya menangis di kamar karena keisengan adik-adiknya. Saat itu, ia bisa legawa dan memperlakukan adiknya dengan baik. Masyaa Allah.

Pak suami saat itu memang memberi tugas pada anak perempuan saya untuk menjada dan merawat adik-adiknya selama saya sakit. Dan ia melakukannya dengan tulus dan berhasil mengambil hati adik-adiknya. Masyaa Allah.

Menjadi perempuan pertama dalam keluarga itu spesial. Adakah yang merasakannya? Saya anak pertama dan anak perempuan pertama. Pada saat saya kuliah, adik-adik saya seringkali menelpon untuk menceritakan masalah mereka. Entah bagaimana, padahal secara emosional saya merasa tidak dekat. Tapi dengan intensitas sering telpon tadi, saya jadi lebih memahami keadaan adik-adik. Saya merasa memiliki tanggung jawab mengayomi mereka. Dan ini berlanjut hingga kini, saat kami telah berkeluarga. Saat menghadapi masalah, ayah dan ibu mengajak saya berdiskusi terlebih dahulu sebelum berdiskusi dengan anak-anak lainnya.

Begitupun dalam perkumpulan keluarga besar, anak perempuan pertama cenderung lebih dikenal dan merupakan ambassador keluarga. Dalam event keluarga pun, ia merupakan humas keluarga. Masyarakat kita yang sebagian besar berpegang pada pola patrilinial, turut memberikan peran penting bagi para perempuan.

Kembali lagi pada anak perempuan pertama saya. Saya mengenalnya begitu lembut dan perasa. Ia juga pemalu. Tapi pada suatu kondisi yang menuntut perannya, saya melihat ia dapat melaksanakannya dengan baik. Saya terharu. Ia belumlah akil balig, apa yang dilakukannya selama ini akan menjadi pelajaran berharga di kemudian hari. Dan sebelum terlelap dalam tidurnya, saya selalu memeluk dan berbisik, terima kasih, saliha-ku. Semoga ia menjaga keikhlasan hatinya dan tetap menjalankan fitrahnya dengan bahagia.

Dan teruntuk diriku dan para perempuan tertua lainnya, yang merasa berat dan lelah kala semua tumpukan masalah diserahkan di pundaknya, semoga Allah Ta’ala menguatkan kita dan istiqomah mencapai rida-Nya. Peran ini adalah amanah dan biarlah menjadi catatan amal kebaikan di akhirat nanti. Salam sayang dari perempuan tertua di sini.

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *