Bismillaah…
Bunda, adakah yang pernah memperhatikan bagaimana akar sebuat tanaman bisa menembus tanah? Saya sangat terpukau akan kuasa Ilahi. Bagaimana akar yang lembut, halus dan tipis bisa menembus tanah yang keras. Dan dari situlah tumbuh dan berkembangnya tanaman menjadi bunga dan buah.
Lembutlah dalam menasihati. Sebagaimana akar bisa menembus tanah yang keras. Bukan karena kekerasannya, tapi karena kelembutannya.

Masyaa Allah. Lihatlah bagaimana semesta mengajarkan kita. Manusia yang berakal sesungguhnya mampu mengambil hikmah atas segala yang terjadi dalam kehidupan kita. Baiklah, kembali ke anak pra akil balig, yang saat ini sedang saya bersamai. Masyaa Allah ujian dan keberkahan bagi kami sekeluarga. Saya belajar banyak dari pra akil balig ini. Mereka hidup pada masanya yang tentu saja sangat jauh berbeda dengan keadaan ayah ibunya saat seusianya.
Saya menyadari banyak kekhilafan yang telah saya lakukan terhadap anak pra akil balig kesayangan keluarga. Belakangan saat saya merasa tak sanggup lagi menerima perilaku atau aktivitas yang dilakukannya, saya makin keras terhadapnya. Saya menerapkan disiplin ketat dan melakukan pemantauan atas aktivitasnya pun secara ketat. Saya merasa apa yang saya lakukan adalah demi kebaikannya. Dan cara-cara yang saya lakukan merupakan langkah terakhir dari keputus asaan saya menghadapinya.
Ternyata, apa yang terjadi? Hasilnya tak seperti yang saya harapkan. Ia makin keras, dan memiliki banyak cara untuk menghadapi “kedisiplinan” saya. Di ujung keadaan itu, saya hanya bisa terpekur di atas sajadah. Dalam doa panjang, saya ceritakan kelemahan hati saya menghadapi pra akil balig, saya ungkapkan kegelisahan saya, saya mohon ampun jika ternyata apa yang saya lakukan tidak diridai Allah Ta’ala. Saya sadar, tugas seorang ibu layaknya seorang guru. Ibu sepatutnya memberi contoh, mengajarkan hal-hal yang diketahuinya dan mengingatkan kala anaknya melakukan kesalahan. Ketika saya merasa ‘lelah’ menghadapi pra akil balig, Paksu mengatakan, tugas kita sebagai orang tau mendoakan kebaikan, memberi contoh dan menyampaikan. Cukup itu, hasilnya Allah Ta’ala yang memutuskan. Saya terpekur, anak adalah titipan Ilahi, pastinya Allah Maha Tahu akan titipan-Nya. Apa saya tidak berkomunikasi dengan-Nya hingga tak memahami hikmah akan titipan-Nya? Saya sombong merasa kebaikan anak adalah hasil kerja keras saya sebagai ibunya. Padahal tidak, sungguh tidak demikian. Istigfar lagi, lagi dan lagi. Saya pun memohon pada Allah Ta’ala agar diberikan petunjuk menjadi orang tua yang amanah.
Pada suatu ketika, saat anak pra akil balig kembali melakukan indisipliner, saya menerimanya dengan kelembutan, tak ada nada tinggi atau ancaman. Sesungguhnya, saya pasrah tak tahu lagi cara apa yang dapat dilakukan. Saya khawatir bila amarah berkecamuk, Allah Ta’ala akan memurkai saya atau memurkai anak saya tercinta. Dan diluar dugaan, ia pun melembut. Ia mengikuti perkataan saya. Masyaa Allah, saya terharu sekali. Allah lah yang menggerakkan hatinya, dan Allah lah yang membimbing saya untuk melunak, melembutkan lisan saat menghadapinya.
Momen itu adalah masa berharga yang saya ingat hingga kini. Pada fitrahnya seorang anak akan mengikuti kebaikan, dan tugas orang tua adalah mencontohkan dan mengajarkan dengan kelembutan. Apa yang saya lakukan di masa yang lalu adalah kesalahan. Saya meminta maaf pada anak pra akil balig ini. Ia hanya tersenyum dan memandang ibunya dengan mata beningnya. Ya Allah ampuni hamba. Segala kebaikan hanyalah dari Mu dan kekhilafan dari kesalahan hamba ini.
Kelembutan. Kelembutan ini seringkali kita lupakan saat menghadapi perilaku anak yang tidak sesuai dengan harapan. Terutama kala amarah memuncak, kelembutan bisa sirna. Anak adalah mahluk titipan Ilahi namun ia begitu spesial, karena ia adalah cermin orang tuanya. Betapa Allah Ta’ala telah memberikan amanah pada orang tua seorang anak sesuai keadaan orang tuanya, tidak salah atau tertukar.
Kelembutan ini berasal dari hati yang lembut. Tak perlu khawatir, kita bisa melatihnya dan menjadi orang tua yang lembut. Bismillah.