Catatan Ringan

Rasa Malu dan Macet

Bismillah…

Alhamdulillah, apa kabar, bun? Iya, kaabr kamu yang lagi baca tulisan saya. Semoga Alloh senantiasa melindungi kita, Aamiin.

Cerita sore kemarin, pulang jemput anak-anak sekolah, jalan yang biasa kami lalui macet sekali. Tidak seperti biasanya. Memang jam segitu pas jam pulang kerja. Tapi ini lebih parah dari biasanya. Hampir 1 kilometer lebih merayap lambat. Saya sempat khawatir tidak sampai sholat magrib di rumah.

Saya pikir, ada kecelakaan atau truk terbalik yang membuat jalanan padat dan kendaraan tak bergerak. Ternyata oh ternyata… Jalan yang biasa kamj lalui ditutup. Ada panggung tablig akbar sudah mejeng di tengah jalan. Walhasil, kami mengambil jalur lain yang tadinya satu arah menjadi 2 arah. Disisi berlawanan pun tak kalah padatnya, karena yang tadinya jalan satu jalur, harus berbagi menjadi 2 jalur.

Pernah menghadapi situasi seperti ini, bun? Mungkin beberapa kali kita pernah menemuinya. Jalan raya umum macet karena digunakan acara resepsi pernikahan atau khitanan kah Atau acara panggung gembira, tablig akbar.

Wahai Rasululloh, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dapat bermanfaat bagiku. Beliau menjawab, singkirkanlah gangguan dari jalan-jalan kaum muslimin (HR. Muslim)

Hadist diatas menjelaskan tentang dianjurkannya menyingkirkan gangguan di jalan. Dalam hadist yang lain ditemukan, meskipun hanya menyingkirkan duri di jalan.

Kalau kita berpikir lebih jauh, sedikit saja berempati dengan orang lain yang akan mengalami kesusahan akibat perilaku kita. Bayangkan di jalan umum begitu banyak kepentingan yang ada. Ada banyak orang yang dirugikan akibat menutup jalan untuk kepentingan pribadi. Kerugian waktu sudah tentu. Kerugian materi, mungkin saja.

Seringkali kita berpikir, “ah, kan ga setiap kali. Acaranya cuma hari ini aja, kok”.

Kalau setiap orang berpikiran demikian, lihatlah apa yang terjadi. Saat akhir pekan pada bulan tertentu, berjejer tenda dan panggung dari satu jalan ke jalan yang lain.

Nah, yang lebih miris lagi, ada yang bilang, “Acara, acara saya… Pake uang saya. Saya bayar ini. Kenapa repot siy? “.

Al-Qiyāmah : 36

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?

Kita seringkali lupa, suatu saat nanti segala perilaku yang dilakukan di dunia ini harus dipertanggungjawabkan. Nah, sudah siapkah dengan ini? Berapa banyak orang yang kesusahan dan dirugikan karena kita.

Mohon maaf sebelumnya, bunda. Tulisan inipun merupakan introspeksi diri saya. Jangan tersinggung ya. Mari kita belajar membuka diri.

Baik, lanjut ya.

Kalau boleh ditelisik lebih jauh, saat kita akan mengadakan sebuah pesta, ada baiknya dikembalikan pada tujuan acara. Sesuaikan kebutuhan dengan kemampuan. Kebutuhan untuk bersilaturahim dan berbagi kebahagiaan disesuaikan dengan kemampuan. Tidak berlebihan sebagaimana dicontohkan Rasulullah shallahu’alaihi wasalam.

Seringkali keinginan ini, itu, begini, dan begitu yang menjadi pernik suatu acara yang membuatnya melenceng dari esensi sebuah acara. Ah, kita sering alpa ya. Tadinya sekadar niat bersilaturahim jadi ada tambahan niat lain-lain yang terselip yang justru menjerumuskan pada mendzalimi orang lain. Astaghfirullah.

Lalu, kalau acara tabligh akbar bagaimana? Saran saya, sebisa mungkin acaranya tidak mengganggu orang banyak. Misalnya, acara dilakukan di lapangan jadi tidak perlu menutup jalan. Waktunya juga bisa disesuaikan pada jam senggang, bukan jam sibuk. Misalnya, waktu ba’da subuh. Semoga Alloh meridhoi.

Trus, bagaimana nasib orang-orang yang terjebak macet?

Kalau diperhatikan, hihihi…. Saya suka memperhatikan orang-orang, ya dari pada marah dan mengutuk pembuat kemacetan. Ya! ada orang yang marah dan mengumpat, ada yang membunyikan klakson berulang kali. Ada juga yang nge’gas kendaraannya sampe asap mengepul dari knalpotnya. Gitu deh, rupa-rupa wajah saat macet. Eits, ada juga yang tenang, menunduk lemah, berkomat kamit, beristighfar.

Dari sekian perilaku yang muncul, bisa dilihat, mana yang bermanfaat dan mana yang sia-sia. Iya ga, bun?

Sebenarnya, marah, mengumpat, memencet klakson apalagi nge’gas berulang kali, merupakan tindakan tidak produktif. Alias tidak menyelesaikan masalah. Perilaku itu hanya bentuk ekspresi ketidaknyamanan diri dan emosi. Sifatnya sesaat dan tidak meredakan kegelisahan juga. Malah terkadang mengundang orang lain untuk melakukan hal yang sama. Eh, malah klakson berjamaah. Waduh… Betapa tidak nyamannya ya? Trus, apa itu membuat jalan menjadi lancar? Tidak dong! Jadi catat ya, itu bukan solusi.

Tapi saya ga bisa berbuat apa-apa? Kata siapa? Tahukah bunda, dengan kita bersikap tenang, tertib, dan mengikuti aturan ataupun arahan petugas berwenang, kita sudah membantu menciptakan kedamaian di jalanan. Paling tidak, mendamaikan diri sendiri dan orang di sebelah kita. Bayangkan bila ini bisa ditularkan, maka hasilnya akan lebih baik. Keluar dari kemacetan dengan hati damai dan tenang.

Lalu apa hubungannya dengan rasa malu? Seperti judul diatas?

Rasulullah shallahu’alaihi wasalam, bersabda:

Iman itu ada 60 lebih (70 sekian) cabang. Iman yang paling utama adalah (ucapan) Laa Ilaaha Illalah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan, sedangkan malu adalah cabang dari iman. (Shahih-Bukhari)

Rasa malu merupakan salah satu bagian dari iman. Malu menumbuhkan rasa sungkan dan berbuat sesuai keinginan Alloh Ta’ala.

Rasa malu membuat kita berpikir beberapa kali sebelum melakukan sesuatu. Rasa malu yang dilandasi keimanan pada Alloh Ta’ala membuat kita berusaha menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Dalam kehidupan sehari-hari, rasa malu membuat seseorang sungkan bila melakukan hal yang akan mengganggu kepentingan orang lain. Pemilik rasa malu akan mencoba menghindari perbuatan yang berdampak pada kesulitan orang lain. Ahhh, malu itu tampak sepele, tapi berat ya. Iyalah, hadiahnya surga 😊

Eits, hati-hati dengan malu-maluin ya. Kalau yang ini, dasarnya malah ga punya rasa malu.

Dengan rasa malu, kita akan berpikir ulang ketika akan menutup jalan umum yang berdampak tak baik bagi orang lain. Kita juga akan menahan lisan untuk mengumpat saat lelah bermacetan di jalan raya. Rasa malu menumbuhkan penghargaan terhadap orang lain.

Bismillah, saya mau menumbuhkan rasa malun. Rasa malu yang dilandasi keimanan pada Alloh Ta’ala. Aamiin.

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *